Degradasi budaya: Alam takambang jadi guru, nan adaik jan sampai lupo

 Degradasi budaya: Alam takambang jadi guru, nan adaik jan sampai lupo

KEMENTERIAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF/BADAN PARIWISATA DAN EKONOMI KREATIF

Indonesia merupakan negara yang sangat majemuk dengan segala keberagaman yang dimilikinya. Keberagaman ini terdapat disemua aspek kehidupan sosial masyarakat seperti Suku, adat, budaya, bahasa, dan agama. Sebagai masyarakat yang sangat beragam maka sangat rentan dengan adanya interaksi antar budaya yang ada di dalam negara maupun yang berada diluar negara. Sehingga dari interaksi yang terjadi maka akan menimbulkan pengaruh yang dihasilkan oleh budaya yang masuk dari luar. Pengaruh yang dihasilkan dapat berupa pengaruh positif dan negatif.

Globalisasi yang tidak terbendung membawa konsekuensi buruk dalam bentuk menggerus nilai-nilai budaya ke titik terendah. Sehingga kekayaan budaya daerah menjadi panjangan yang tidak dipandang oleh para masyarakatnya. Adanya pandangan bahwa budaya dan adat-istiadat merupakan suatu hal yang kuno. Hal ini tentunya sangat disayangkan karena para generasi muda tidak lagi tertarik mempelajari budaya daerah kelahirannya karena pandangan negatif tersebut.

Perubahan Lingkungan dan sistem interaksi menimbulkan tantangan baru yang harus ditanggapi oleh masyarakat Indonesia dalam menyesuaikan diri secara aktif. Hubungan Manusia dan lingkungannya merupakan hubungan timbal balik yang saling mempengaruhi. Kehidupan manusia dalam sistem adat berinteraksi dengan perubahan Lingkungan hidupnya, berusaha menyesuaikan diri dengan perubahan alamnya melalui kemampuan adaptasi sosial. Namun kemampuan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan yang terjadi terkadang tidak sebanding dengan besarnya pengaruh yang masuk dari luar yang terjadi akibat akulturasi budaya. Hal ini sangat dapat dilihat dari kebiasaan para generasi muda daerah-daerah yang mulai meninggalkan budaya daerahnya.

Sumatera barat dikenal sebagai provinsi yang sangat kental dengan pengaruh budaya minangkabau. Dimana semua kegiatan masyarakat diatur berdasarkan hukum adat yang berlaku. Hukum atau peraturan yang tidak tertulis ini menjadi pegangan bagi semua masyarakat minangkabau. Segala aktivitas yang dilakukan masyarakat sebagian besar berasal dari budaya dan adat istiadat seperti pernikahan, mengangkat pemimpin adat, acara kelahiran, sampai cara bicara ke lawan bicara pun diatur sedemikian rupa agar menimbulkan keharmonisan dalam masyarakat. Kebiasaan atau budaya ini merupakan warisan yang tak ternilai harganya dari para leluhur terdahulu. Ada tiga tetapan dasar adat minangkabau yang ditetapkan oleh  ditetapkan oleh Dt. Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Katumanggungan, Yaitu:

Pertama: Ulayat Adat Milik Bersama. artinya tidak ada kepemilikan individu terhadap ulayat adat Minangkabau. Untuk pengaturan pemanfaatannya ditetapkan Ninik Mamak sebagai pembuat kebijakan.

Kedua: Penurunan Ulayat Adat Pada Perempuan Garis Ibu. Kaum perempuan diamanahkan sebagai pemegang ulayat adat dan diturunkan kepada anak perempuannya sebagai pemegang estafet ulayat adat. Perempuan pemegang ulayat adat tersebut dikenal dengan istilah Bundo Kanduang.

Ketiga: Islam Agama Masyarakat Adat Minangkabau. Akibat ketetapan ketiga tersebut di masyarakat adat lahir satu lagi kutub kepemimpinan masyarakat yang bertugas menjaga dan membimbing masyarakat dalam segi agama islam yaitu Alim Ulama.

Namun sekarang ini sebagian masyarakat minangkabau sudah banyak terpengaruh oleh budaya luar, sehingga budaya leluhur yang sudah dijalankan sejak dulu mulai ditinggalkan.

Perubahan pola pikir yang menganggap bahwa budaya merupakan kebiasaan kuno menjadi ancaman yang sangat serius saat ini. Banyak kebudayaan minangkabau yang sekarang seolah-olah sudah mulai luntur di kalangan masyarakat. Budaya gotong-royong misalnya, dahulu gotong-royong merupakan kegiatan yang selalu dilakukan oleh masyarakat minangkabau dalam melaksanakan kegiatan apapun. Tetapi sekarang dalam suatu acara sosial seperti acara pernikahan, budaya gotong-royong sudah mulai jarang dilakukan. Masyarakat memilih melangsungkan pernikahan dengan cara instan seperti di gedung atau hotel. Hal ini bukan tanpa alasan, pemilihan gedung atau hotel sebagai tempat acara pernikahan dipandang lebih murah daripada dilangsungkannya di tempat tinggal sendiri dengan rangkaian upacara adat yang mungkin akan menghabiskan dua sampai tiga hari.

Perkembangan teknologi yang sangat pesat membuat masyarakat seolah-olah tidak ada batasan dalam berinteraksi dengan budaya lain. Masyarakat mulai meniru-niru apa yang mereka lihat dari internet. seperti  terdapat budaya berbicara yang sekarang sudah tidak diperhatikan lagi oleh para generasi muda minangkabau. Pada Zaman dahulu, berbicara dalam kehidupan sehari-hari diatur dalam adat yang dikenal dengan istilah kato nan ampek atau kata yang empat. Budaya ini merupakan sebuah aturan yang mewajibkan orang minangkabau memperhatikan nada, pemilihan kata, sampai ke intonasi kata diperhatikan ketika berbicara.  Arti Kato Nan Ampek yaitu adab dan sopan santun ketika berkomunikasi dengan orang lain. Kato sendiri dibedakan atas kato mandaki, kato malereang, kato manurun, dan kato mandata. Adat Minangkabau sangat mengutamakan rasa hormat kepada sesama masyarakat di lingkungan sekitar. Dalam berbicara orang minang sendiri berkomunikasi harus berhati-hati dengan lawan bicara, agar tidak menyinggung perasaan orang lain saat kita berbicara. Penggunaan kato mandaki merupakan bahasa yang digunakan ketika berbicara dengan yang lebih tua atau orang yang dihormati. Berbicara dengan yang lebih tua harus menggunakan kata lemah lembut dan santun, ketika orang tua berbicara kita tidak boleh memotong pembicaraannya, dan membantah selagi itu benar demi kebaikan. Selanjutnya kato manurun digunakan ketika kita berbicara dengan yang lebih muda, Seperti adik. Ketika kita berbicara kepada yang lebih kecil hendaklah berbicara dengan kasih sayang, mengajarkan kepada hal yang baik, dan menghargai. Tidak dengan cara yang kasar, berteriak, mencaci maki. Kato malereang merupakan bahasa yang digunakan ke kita memiliki hubungan sesama kekerabatan atau kepada orang yang kita segani. Kato malereang hampir sama dengan kato mandaki yang juga digunakan kepada yang lebih tua, namun perbedaannya adalah berbicara dengan orang yang disegani seperti tokoh adat, agama, dan pemimpin. Kato yang terakhir adalah Kato mandata merupakan bahasa yang digunakan ketika dengan teman sebaya. Biasanya kata-kata yang digunakan bebas dan sedikit kasar apalagi pertemanan antara laki laki justru dengan itu hubungan pertemanan semakin akrab. Contoh kata ganti orang pertama laki-laki adalah awak, aden, ang dan lain-lain.

Degradasi budaya merupakan proses yang sangat berdampak negatif bagi masyarakat minangkabau. Masyarakat yang dahulunya dikenal sebagai masyarakat yang beradat, sekarang sudah mulai meninggalkan budayanya akibat pengaruh budaya luar yang dihasilkan dari perkembangan teknologi seperti internet. Hal ini harus menjadi tanggung jawab bersama semua lapisan masyarakat, terkhususnya bagi para pemimpin Sumatera Barat. Banyak langkah strategis yang dapat dilakukan agar masyarakat mulai kembali mengenal budaya leluhur mereka seperti memperbanyak kegiatan sosial di surau, melestarikan budaya strategis melalui festival rakyat, dan lain sebagainya. Karena jika langkah-langkah ini tidak diambil bukan tidak mungkin masyarakat minangkabau akan merasa asing dengan budayanya sendiri di masa yang akan datang.

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Degradasi budaya: Alam takambang jadi guru, nan adaik jan sampai lupo"

Posting Komentar